IMAN KEPADA PARA
RASUL
“Rasul”
berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud “Rasul” disini adalah orang
yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umatnya.
Rasul yang
pertama adalah Nabi Nuh u, dan yang terakhir adalah Nabiyullah
Muhammad u.
Allah
berfirman:
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada
Nuh dan Nabi-nabi yang berikutnya…” (QS.
An Nisa’: 163).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik t dalam
hadits tentang syafaat, bahwa Nabi r bersabda,
"nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta syafaat,
tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata , “Datangilah Nuh,
Rasul pertama yang diutus Allah..(HR. Bukhari ).
Allah I berfirman
tentang Nabi Muhammad r:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40).
Allah I mengutus
kepada setiap umat seorang Nabi yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya atau
dengan membawa syari’at sebelumnya yang telah diperbaharui.
Allah I berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut…” (QS. An Nahl: 36).
Allah berfirman:
“sesungguhnya
Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada
padanya seorang pemberi peringatan.” (QS.
Fathir: 24)
Allah
berfirman:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi…”
(QS. Al Maidah: 44).
Para Rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak
mempunyai sedikitpun keistimewan rububiyah dan uluhiyah. Allah I berfirman tentang Nabi Muhammad r sebagai pimpinan para Rasul dan yang
paling tinggi kedudukannya di sisi Allah:
“Katakanlah, “aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku
dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan
sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain
hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.”
(QS. Al A’raf : 188).
Allah berfirman:
“Katakanlah
, “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu
dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan. Katakanlah , “sesungguhnya sekali-kali
tidak seorangpun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali
tiada memperoleh tempat berlindung daripada-Nya.” (QS. Al Jin: 21-22).
Para Rasul
juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, butuh makan dan
minum dan lain sebagainya. Allah I berfirman tentang Nabi Ibrahim
`alaihissalam yang menjelasakan sifat Rabbnya:
“Dan
Rabbku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit,
Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali)…” (QS.
Asy Syuara’: 79-81).
Nabi
muhammad r bersabda:
(( إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ،
فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ ))
“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa
seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah aku.”
Allah I
menerangkan bahwa para Rasul mempunyai ubudiyah (penghambaan) yang tertinggi
kepada-Nya. Untuk memuji
mereka, Allah I berfirman tentang Nabi Nuhu :
“…Dia
adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.”
(QS. Al Isra’: 3).
Allah I juga berfirman tentang Nabi Muhammad r:
“Maha
suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar
dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al Furqan: 1).
Allah juga
berfirman tentang Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya’qub u:
“Dan
ingatlah hamba-hamba Kami, Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai
perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami
telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang
tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pilihan yang paling baik.” (QS. Shaad: 45-47).
Allah juga
berfirman tentang Nabi Isa bin Maryam u:
“Isa
tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya ni’mat (kenabian)
dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan) untuk Bani Israil.” (QS. Az Zukhruf: 59).
Iman
kepada para Rasul mencakup empat hal:
1.Mengimani bahwa risalah mereka
benar-benar dari Allah I. Barangsiapa mengingkari risalah
mereka, walaupun hanya seorang, maka maka sungguh ia telah mengingkari risalah
seluruh para Rasul.
Allah I berfirman:
“Kaum
Nuh telah mendustakan para Rasul.” (QS.
Asy Syu’ara’: 105).
Allah I menyatakan bahwa mereka mendustakan
semua Rasul, padahal hanya seorang Rasul saja yang mereka dustakan. Oleh karena
itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti Nabi Muhammad r, berarti mereka juga telah mendustakan
dan tidak mengikuti Nabi Isa Al Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri
pernah manyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad r sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata
“memberi kabar gembira” ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang
Rasul kepada mereka juga, dimana Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan
memberi petunjuk mereka kepada jalan yang lurus melalui Nabi tersebut .
2.Mengimani orang-orang yang sudah kita
kenali nama-namanya, misalnya Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, Nuh u. Kelima Nabi Rasul itu dikenal dengan “ulul
azmi”. Allah I telah menyebut mereka dalam dua tempat dari Al Qur’an,
yakni dalam surat
Al Ahzab dan surat
Asy syura:
Allah berfirman:
“Dan
(ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-Nabi dan dari kamu
(sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam…” (QS. Al Ahzab: 7).
Allah
berfirman:
“Dia
telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan juga apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah-belah tentangnya…” (QS. Asy Syuura: 13).
Terhadap
para Rasul yang tidak dikenal nama-namanya, kita juga wajib beriman kepada
mereka secara global.
Allah I
berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus
beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan
kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” (QS. Al
Mu’min: 78).
3.Membenarkan apa yang mereka beritakan.
4.Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus
kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir Muhammad r yang diutus Allah kepada seluruh
manusia.
Allah berfirman:
“Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.
An Nisa’: 65).
Buah iman
kepada para Rasul.
1. Mengetahui rahmat serta perhatian Allah
kepada hamba-hambanya sehingga mengutus para Rasul untuk menunjukkan mereka
kepada jalan Allah, serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah
Allah I, karena akal manusia tidak bisa mengetahui hal itu dengan
sendirinya.
2. Mensyukuri ni’mat Allah yang amat besar
ini.
3. Mencintai para Rasul, mengagungkan
serta memuji mereka, karena mereka adalah para Rasul Allah I dan karena mereka hanya menyembah
Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan menasehati hamba-Nya.
Orang-orang
yang menyimpang dari kebenaran, mendustakan para Rasul dengan menganggap bahwa
para Rasul Allah bukanlah manusia. Anggapan yang keliru ini dibantah Allah I dalam sebuah firman-Nya:
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman
tatkala datang petunjuk kepada mereka, kecuali perkataan mereka , “Adakah Allah
mengutus seorang manusia menjadi Rasul? Katakanlah,”andai bumi itu dihuni oleh
para malaikat yang berjalan di atas permukaannya dengan tenang, niscaya Kami
turunkan dari langit seorang malaikat untuk menjadi Rasul." (QS. Al Isra: 94-95).
Dalam ayat
di atas Allah I mematahkan anggapan mereka yang keliru. Rasul Allah harus
dari golongan manusia, karena ia akan diutus kepada penduduk bumi yang juga
manusia.
Seandainya
penduduk bumi itu Malaikat, pasti Allah akan menurunkan Malaikat dari langit
sebagai Rasul.
Di dalam surat Ibrahim, Allah
mengisahkan tentang orang-orang yang mendustakan para Rasul:
“Mereka
(orang-orang yang mendustakan Rasul) berkata, “kamu tidak lain hanyalah manusia
seperti kami juga. kamu menghendaki untuk menghalang-halangi kami dari apa yang
selalu disembah oleh nenek moyang kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami
bukti yang nyata.” Rasul-Rasul mereka berkata kepada mereka, “Kami tidak lain
hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa
yang Dia kehendaki di antara hamba-hambanya. Dan tidak patut bagi Kami
mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya
kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ibrahim 10-11).
IMAN KEPADA HARI AKHIR
Hari Akhir adalah hari kiamat, dimana seluruh manusia dibangkitkan pada hari
itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari akhir, karena tidak ada
hari lagi setelahnya. Pada hari itu penghuni surga dan penghuni neraka masing-masing
menetap di tempatnya.
Iman kepada
hari Akhir mencakup tiga hal:
1. Beriman kepada ba’ts (kebangkitan),
yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala
yang kedua kali. Di saat itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam
semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.
Allah I berfirman:
"Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan
pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami
tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiya’: 104).
Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti ada, bukti
keberadaannya diperkuat oleh Al Kitab, sunnah dan ijma’ umat Islam.
Allah I berfirman:
“Kemudian
sesungguhnya kamu sekalian akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan
dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.”
(QS. Al Mu’minun: 15- 16).
Nabi Muhammad r bersabda:
(( يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً غُرَلاً ))
“Di
hari kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki dan
tidak disunat.” (HR. Bukari & Muslim).
Umat Islam sepakat tentang adanya hari kebangkitan,
Karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaannya untuk
diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para
Rasul-Nya.
Allah berfirman:
“Maka apakah kamu mengira bahwa
sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu
tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115).
Allah I berfirman
kepada Rasulullah r:
“Sesungguhnya yang mewajibkam atasmu
(melaksnakan hukum-hukum) Al Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke
tempat kembali…” (QS. Al Qashash: 85).
2. Beriman kepada hisab
(perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh
perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di
dalam Al Qur’an, sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.
Allah I berfirman:
“Sesungguhnya
kepada Kami mereka kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami menghisab
mereka.” (QS. Al Ghasyiah: 25-26).
Allah berfirman:
“Barang
siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya,
dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).” (QS. Al- An’am: 160).
Allah berfirman:
“Kami
akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiada dirugikan
seorangpun barang sedikit. Dan sekalipun(amalan itu) hanya seberat biji sawi
pasti Kami berikan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al Anbiya’: 47).
Dari Ibnu Umar t
diriwayatkan bahwa Nabi r bersabda
yang artinya:
“Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan
hijab dan menutupnya. Allah bertanya , “Apakah kamu tahu dosamu ini?” “apakah
kamu tahu dosamu itu?” Ia menjawab, “Ya Rabbi.” Ketika ia sudah mengakui
dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah I berfirman , “Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan
sekarang Aku mengampuninya.” Kemudian diberikan kepada orang mukmin buku amal
baiknya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, Allah I memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang
yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang
dzalim.” (HR. Bukhari Muslim).
Nabi r bersabda:
(( أَنَّ مَنْ
هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهُ اللهُ عِنْدَهُ عَشَرَ حَسَنَاتٍ إِلىَ
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلىَ أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ))
“Orang yang berniat melakukan satu kebaikan, lalu
mengamalkannya, maka ditulis baginya sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali
lipat, bahkan sampai beberapa kali lagi. Barangsiapa berniat melakukan satu
kejahatan, lalu mengamalkannya, maka Allah
menulisnya satu kejahatan saja.”
Umat Islam
telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal, karena hal itu sesuai
dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah I telah menurunkan Kitab-kitab, mengutus
para Rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa
oleh Rasul-Rasul Allah dan mengamalkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar
berperang melawan orang-orang kafir yang menentang-Nya serta menghalalkan
darah, anak-anak, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan
balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Rabb yang Maha bijaksana,
Mahasuci dari melakukan perbuatan yang sia-sia.
Allah I telah menjelaskan hal itu dalam
firman-Nya:
“Maka
sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus Rasul-Rasul kepada
mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Rasul-Rasul (Kami), maka
sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka
perbuat). Sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak
jauh (dari mereka).” (QS. Al A`raaf: 6-7).
3. Mengimani surga dan neraka sebagai
tempat manusia yang abadi. Surga adalah tempat keni’matan yang disediakan Allah
untuk orang-orang mukmin yang bertakwa, yang mengimani apa-apa yang harus
diimani, yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan untuk orang-orang yang
beribadah dengan ikhlas serta mengikuti sunah Nabi.
Di
dalam surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak
pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.
Allah
berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka
di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan
merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
takut kepada Rabbnya.” (QS. Al bayyinah:
7-8).
Allah berfirman:
“Tidak
seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu
(bermacam-macam ni’mat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. As Sajadah : 17).
Neraka
adalah tempat azab yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir, yang berbuat
zalim serta untuk orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Di dalam neraka
terdapat berbagai azab dan siksaan, yang tidak pernah terlintas dalam pikiran.
Allah
berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk
orang-orang yang kafir.” (QS. Al Imran: 131).
Allah berfirman:
“Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zalim neraka yang gejolak apinya
mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka mereka akan diberi minuman
dengan air seperti besi yang mendidih yang dapat menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al Kahfi: 29).
“Sesungguhnya
Allah melaknati orang-rang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang
menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak
memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari
ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata , “Alangkah
baiknya, andaikata Kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (QS. Al Ahzab: 64-66).
Termasuk
Iman kepada hari akhir adalah mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi
sesudah mati, misalnya :
a. fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada
mayat ketika sudah dikubur, tentang Rabb, agama dan Nabinya. Allah akan
meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang benar. Maka mereka
menjawab pertanyaaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, dengan
mengatakan," Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad r Nabiku". Sebaliknya Allah akan
menyesatkan orang-orang yang dzalim dan kafir. Mereka tidak mampu menjawab
pertanyaan tersebut. Mereka akan berkata, “Aku… aku tidak tahu.” Begitu juga
orang-orang munafik akan menjawab pertanyaan itu dengan kebingungan, "aku
tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku
mengikutinya.”
b. Siksa dan ni’mat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi
orang-orang dzalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti
dalam firman-Nya:
“…alangkah
dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada)
dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan
tangannya, (sambil berkata), “keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas
dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap
Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri
terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. Al an’am:
93).
Allah I berfirman tentang pengikut Fir`aun:
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada
hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) , “Masukkan Fir`aun dan
kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Al Mu’min : 46).
Dari Zaid
bin Tsabit diriwayatkan bahwa Nabi r bersabda:
“kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang
mati), pasti aku memohon kepada Allah agar memperdengarkan siksa kubur kepada
kalian yang saya dengar.” Kemudian Nabi r menghadapkan wajahnya seraya bersabda,“Mohonlah
perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Para sahabat berkata, “Kami
memohon perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Nabi r kemudian berkata lagi, “Mohonlah perlindungan Allah dari
siksa kubur.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan Allah dari siksa
kubur.” Lalu beliau berkata lagi,“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari
berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Para sahabat lalu
berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang
tampak maupun yang tidak tampak.” Nabi r berkata lagi , “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari
fitnah dajjal.” Para sahabat berkata, “Kami mohon perlindungan kepada Allah
dari fitnah dajjal.” (HR. Muslim).
Adapun
ni’mat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang benar-benar beribadah
kepada-Nya. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
“sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan , “Rabb Kami ialah Allah”, kemudian mereka
istiqamah, para malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) ,
“Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30).
Allah berfirman:
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di
kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai
(oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu
adalah orang-orang yang benar?. Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk
orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan
rezeki serta surga keni’matan.” (QS.
Al Waqi’ah: 83-89).
Diriwayatkan dari Al Bara’ bin `Aazib t bahwa
Nabi r bersabda tentang
orang mukmin yang dapat menjawab pertanyaan Malaikat di dalam kuburnya, “ada
suara yang menyeru dari langit , “hamba-Ku memang benar. Oleh karenanya berilah dia permadani
dari surga, berilah pakaian dari surga, dan bukakanlah baginya pintu surga.”
Lalu datanglah keni’matan dan keharuman dari surga, dan kuburnya dilapangkan
sejauh mata memandang …”
(HR. Ahmad & Abu Daud).
Buah iman
kepada hari akhir:
1. Gemar melakukan ketaatan demi mengharap
pahala di hari tersebut.
2. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa
takut akan disiksa pada hari itu.
3. Menghibur orang mukmin jika tidak
mendapatkan balasan kebajikannya di dunia dengan mengharap keni’matan serta
pahala di akhirat.
Orang-orang
kafir mengingkari adanya kebangkitan setelah mati, mereka menyangka bahwa hari
akhir dengan segala peristiwa-peristiwanya adalah suatu hal yang mustahil.
Dugaan mereka jelas sangat keliru dan kesalahan itu dapat dibuktikan dengan
syara’, indera, dan akal.
1. Bukti syara’
Allah I berfirman:
“Orang-orang kafir
mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah,“Tidak
demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan
diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” Yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (QS. At Taghabun : 7).
Hal ini
juga telah dijelaskan oleh kitab-kitab suci yang terdahulu.
2. Bukti inderawi
Allah I telah memperlihatkan bagaimana Dia
menghidupkan orang-orang yang sudah mati di dunia ini.
Dalam surat Al Baqarah terdapat lima contoh mengenai hal ini:
a. Ketika kaum Musa berkata kepada Nabi
Musa u bahwa mereka tidak akan percaya dengan risalah yang
dibawa Musa u, sampai mereka melihat Allah dengan mata kepala mereka
sendiri. Oleh karena itu Allah berfirman (yang ditujukan kepada Bani Israil):
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai
Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan
terang.” Karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.
Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah mati, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 55-56).
b. Kisah orang yang terbunuh yang
pembunuhnya dipersengketakan bani Israil. Allah I lalu memerintahkan mereka untuk
menyembelih sapi, kemudian salah satu anggota sapi itu dipukulkan ke tubuh
orang yang terbunuh itu agar dapat menceritakan siapa sebenarnya yang telah
membunuhnya. Hal ini diungkapkan dalam firman-Nya:
“Dan
(ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia, lalu kamu saling
tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini
kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman , “Pukullah mayat itu dengan sebahagian
anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang
yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar
kamu mengerti.” (QS.
Al-Baqarah: 72-73).
c.
Kisah
kaum yang meninggalkan negerinya untuk menghindari kematian. Mereka berjumlah
ribuan orang. Allah mematikan mereka, lalu menghidupkan kembali. Ini dijelaskan
dalam firman-Nya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang
yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya)
karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka,“Matilah kamu, kemudian
Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap
manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 243).
d.
Kisah
orang yang melewati sebuah desa yang hancur. Dia sangsi, bagaimana Allah
menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur, maka Allah mematikan orang tersebut selama seratus tahun,
kemudian Allah menghidupkan kembali. Ini dikisahkan dalam firman-Nya:
“Atau apakah (kamu memperhatikan) orang yang
melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia
berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” maka
Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkan kembali. Allah
bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini? Ia menjawab, “Saya tinggal di sini
sehari atau setengah hari.” Allah berfirman,“Sebenarnya kamu telah tinggal di
sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi
berubah, dan lihatlah keledaimu (yang telah mejadi tulang-belulang). Kami akan
menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. lihatlah tulang-belulang
keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya
dengan daging. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan
yang telah mati) diapun berkata,“Saya yakin Allah maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (Al Baqarah:
259).
e. Kisah Nabi Ibrahim `alaihissalam ketika
meminta kepada Allah untuk memperlihatkan kepadanya, bagaimana Dia menghidupkan
kembali orang-orang yang telah mati. Allah memerintahkannya menyembelih empat
ekor burung dan memisah-misahkan bagian-bagian tubuh burung itu di atas
gunung-gunung yang ada di sekelilingnya. Lalu Ibrahim memanggil burung itu, tak
lama kemudian, tampaklah olehnya bagian-bagian tubuh burung-burung itu menyatu
dan segera mendatangi Nabi Ibrahim kembali. Ini dikisahkan Allah dalam
Al-Qur’anul Karim:
“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu
belum percaya?” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, akan tetapi agar hatiku
bertambah tenang.” Allah berfirman (kalau demikian) ambillah empat ekor burung,
lalu cincanglah semuanya olehmu, lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit
satu bagian dari bagian-bagian itu, sesudah itu panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al Baqarah: 260).
Inilah
beberapa bukti inderawi yang menunjukkan mungkinnya Allah menghidupkan
orang-orang yang sudah mati. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah memberikan
mukjizat kepada Isa bin Maryam dengan menghidupkan orang-orang yang sudah mati
serta mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah I.
3. Bukti akal (logika)
Bukti akal
dapat dibagi menjadi dua bagian :
a. Allah I sebagai pencipta langit dan bumi
seisinya telah menciptakannya pertama kali. Allah mampu menciptakan pertama
kali, tentu mampu pula untuk menghidupkannya kembali.
Allah
berfirman:
“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian
kembali (menghidupkan)nya, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah
bagiNya…” (QS.
Ar rum: 27).
Allah berfirman:
“sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang
pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiya’: 104).
Allah
berfirman memerintahkan Rasul-Nya untuk membantah alasan orang yang mengingkari
kekuasaan Allah menghidupkan kembali mayat yang telah menjadi tulang-belulang:
“Katakanlah,“ia
akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha
mengetahui tentang segala makhluk.” (QS.
Yasin: 79).
b. Bumi yang kering dan tandus akan hijau
kembali dan tumbuhan yang mati akan bergerak subur setelah disirami hujan. Dzat
Yang mampu menghidupkan tumbuh-tumbuhan
setelah mati, tentu mampu menghidupkan orang-orang yang sudah mati.
Allah I berfirman:
“Dan sebagian dari tanda-tanda
(kekuasaan)Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami
turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang
menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS.
Fushshilat: 39).
Allah
berfirman:
“Dan Kami turunkan dari langit air yang
banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan
biji-bijian tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai
mayang yang bersusun-susun untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan
Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah
terjadinya kebangkitan.” (QS.
Qaaf: 9-11).
Orang-orang
yang meingkari siksa kubur dan keni’matannya mengira hal itu suatu perkara yang
mustahil serta bertolak belakang dengan kenyataan karena apabila kubur digali,
tidak akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula
bertambah sempit. Dugaan mereka ini jelas tidak benar menurut syara’, indera,
dan akal.
1- Dalil syara’
Ibnu Abbas t berkata, “Rasululah
r pernah keluar
dari salah satu kebun kota madinah lalu beliau mendengar ada dua orang yang
disiksa di dalam kuburnya.” Dalam hadits itu disebutkan bahwa yang satu disiksa
karena buang air kecil di sembarang tempat sehingga auratnya kelihatan oleh
orang yang lewat, dan yang satunya lagi karena mengadu domba.” (HR. Bukhari).
2- Dalil inderawi
Orang yang
tidur terkadang mimpi bahwa dia berada di tempat yang luas, menggembirakan, dan
dia bersenang-senang di sana.
Atau terkadang dia juga bermimpi berada di tempat yang sempit, menakutkan, dan
membuatnya tersiksa. Terkadang seseorang bisa terjaga karena mimpi buruk,
padahal ia berada di atas tempat tidur di kamarnya. Tidur adalah saudara
kematian.
Oleh karena
itu Allah menyebut tidur dengan “wafat”, seperti dalam firman-Nya:
“Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum
mati di waktu tidurnya; maka Dia menahan jiwa (orang yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan…” (QS. Az zumar: 42).
3- Dalil akal
Orang yang
tidur terkadang bermimpi yang benar sesuai dengan kenyataan. Bisa jadi ia
bermimpi melihat Nabi r sesuai dengan sifat beliau.
Barangsiapa pernah bermimpi melihat beliau sesuai dengan sifatnya, maka dia
bagaikan melihatnya benar-benar. Padahal waktu itu dia berada di dalam
kamarnya, di atas tempat tidur, jauh dari alam yang di mimpikan. Apabila
keadaan tersebut suatu hal yang mungkin dijumpai di dunia, maka bagaimana tidak
mungkin dijumpai di akhirat?
Adapun dalih
mereka bahwa apabila kubur digali, akan didapati seperti semula, tidak
bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit maka jawabannya :
1. Apa yang dibawa syara’ tidak boleh
dipertentangkan dengan hal-hal yang bersifat dugaan. Kalau ia mau berpikir
tentang keterangan yang dibawa oleh syara’ ia pasti mengetahui kekeliruannya.
Seorang
penyair bertutur:
Berapa banyak orang yang mencela
pendapat yang benar
Padahal sikap itu timbul dari
pemahamannya yang salah.
2. keadaan dalam barzakh (alam kubur)
termasuk hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, kerena jika hal
itu dapat diindera, maka tidak ada artinya iman kepada yang ghaib, dan sama
antara orang yang beriman kepada yang ghaib dan orang yang mengingkarinya.
3. Siksa kubur, ni’mat kubur, luas dan
sempitnya kubur hanya dapat dijumpai oleh mayat itu sendiri, bukan yang lain.
Ini seperti yang dilihat orang tidur dalam mimpinya, dia bisa berada di tempat
yang sempit dan menakutkan, atau di tempat yang luas dan menyenangkan, padahal
menurut orang yang melihatnya tidur, keadaan orang tersebut tidak berubah, ia
masih di dalam kamar di antara selimut dan kasur.
Ketika
menerima wahyu, Nabi Muhammad r berada di tengah-tengah para
sahabatnya. Beliau mendengar wahyu, tetapi para sahabatnya tidak mendengar.
Terkadang wahyu itu diturunkan dengan cara Malaikat menjelma dalam bentuk rupa
seorang laki-laki, lalu berbicara dengan beliau, dan para sahabat tidak melihat
serta mendengarnya.
4. Pengetahuan manusia terbatas pada
sesuatu yang hanya diizinkan Allah untuk diketahuinya. Tidak mungkin manusia
dapat mengetahui segala yang ada. Langit yang tujuh serta bumi seisinya semua
bertasbih dengan memuji Allah, Dia memperdengarkan kejadian tersebut kepada
orang yang dikehendakinya, kecuali manusia.
Dalam hal
ini Allah berfirman:
“Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak
ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka.” (QS. Al Isra’:
44).
Demikian
halnya dengan setan dan jin yang berkeliaran di atas bumi. Pernah ada jin
datang kepada Nabi r mendengar beliau sedang membaca Al quran, kemudian dia kembali
ke kaumnya sebagai juru da’wah.
Dalam hal
ini Allah I berfirman:
“Hai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga. Ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya aurat keduanya. Sungguh, ia dan pengikutnya melihat kamu dari suatu
tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. sesungguhnya Kami telah menjadikan
setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al A’raf: 27).
Apabila manusia tidak dapat mengetahui segala yang ada,
maka mereka tidak boleh mengingkari perkara-perkara ghaib yang ditetapkan oleh
syara’ sekalipun mereka tidak dapat mengetahuinya dengan indera mereka.
IMAN KEPADA TAKDIR
Al qadar adalah takdir Allah I untuk seluruh makhluk
yang ada sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya.
Iman kepada
takdir mencakup empat hal:
1. Mengimani bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan
dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.
2. Mengimani bahwa Allah telah menulis hal
itu di “Lauh Mahfudz”.
Tentang
kedua hal tersebut Allah berfirman:
“Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab
(Lauh Mahfudzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj: 70).
Abdullah bin
Umar t Berkata, “Aku pernah mendengar Rasululah r bersabda:
(( كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ ))
“Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun
sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim).
3. Mengimani
bahwa seluruh yang terjadi, tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah I. Baik yang berkaitan dengan perbuatan
Allah sendiri maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhlukNya.
Allah I berfirman tentang hal yang berkaitan
dengan perbuatan-Nya:
“Dan
Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (QS. Al Qashash: 68).
Allah
berfirman:
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana
dikehendakiNya.” (QS.
Ali Imran: 6).
Allah juga
berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan
makhluk-makhluk-Nya:
“…Kalau
Allah menghendaki, maka Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu
pastilah mereka memerangimu…” (QS.
An Nisa : 90).
Allah
berfirman:
“… Dan
kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah
mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS.
Al An’am: 137).
4. Mengimani bahwa seluruh yang ada,
wujud, sifat dan geraknya diciptakan oleh Allah I.
Allah
berfirman:
“Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” ( QS. Az Zumar: 62).
Allah
berfirman:
“…dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan: 2 ).
Allah
berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya:
“Padahal
Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As Shaffat: 96).
Iman kepada takdir sebagaimana telah Kami jelaskan di atas
tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam barbagai
perbuatan yang sifatnya ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita) membenarkan
pernyataan di atas.
a.
Secara
syara’, Allah
berfirman tentang kehendak manusia:
“Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh
jalan kembali kepada Rabbnya.” (QS.
An Naba’: 39).
Allah berfirman:
“…maka
datangilah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu
kehendaki…” (QS. Al Baqarah: 223).
Allah juga
berfirman bahwa manusia memiliki qudrat (kemampuan):
“maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…” (QS. At Taghabun: 16).
Allah
berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari (kebajikan) yang dikerjakannya serta
mendapat siksa dari (kejahatan) yang dikerjakan…” (QS. Al Baqarah: 286).
b. Secara
kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki iradat (kehendak)
dan qudrat (kemampuan), dia mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya
tergantung kepada dua hal tersebut. Dia
juga dapat membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti;
berjalan), dan sesuatu yang terjadi di luar kehendaknya (seperti; gemetar). Dan
kehendak serta kemampuan seorang makhluk tunduk di bawah iradat (kehendak)
serta qudrah (kemampuan) Allah I, seperti
dalam sebuah firman-Nya:
“(yaitu) bagi siapa
di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb
semesta alam.” (QS. At Takwir: 28-29).
Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka
tidak ada barang sedikitpun yang menjadi milik-Nya terjadi di luar ilmu
(pengetahuan) serta iradat (kehendak)-Nya.
Iman kepada
takdir ini tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk
mengerjakan maksiat. Kalau itu dijadikan alasan, maka jelas salah ditinjau dari
beberapa segi:
1.
Firman Allah I:
“orang-orang yang
menyekutukan Tuhan mengatakan , “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan
bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan
barang sesuatu apapun. Demikian juga orang-orang sebelum mereka yang telah
mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah,
“adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya
pada Kami? Kamu tidak mengetahui kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain
hanya menyangka.” (QS. Al An’am: 148).
Kalau alasan
mereka dengan takdir dapat diterima Allah I, tentu Dia tidak akan menjatuhkan
siksa kepada mereka.
2.
Firman-Nya:
“(mereka Kami utus) sebagai Rasul-Rasul pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya para Rasul. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha
bijaksana.” (QS. An Nisa”: 165).
Andaikan takdir dapat dijadikan alasan untuk orang-orang
yang berbuat dosa, niscaya Allah I tidak
menafikan alasan tersebut dengan diutusnya para Rasul, karena terjadinya
perbuatan dosa setelah diutusnya para Rasul, juga terjadi sesuai dengan takdir
Allah I.
3.
Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi
I bersabda:
(( مَا مِنْكُمْ
مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ الجَنَّةِ، فَقَالَ
رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: أَلاَ نَتَّكِلُ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ اِعْمَلُوْا كُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ
))
“Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan)
tempatnya di surga atau di neraka. Ada seorang sahabat bertanya,“Mengapa kita
tidak tawakal (pasrah) saja, wahai Rasulullah?” beliau menjawab , “tidak,
beramal lah karena masing-masing akan dimudahkan.” Lalu beliau membaca surat Al lail ayat 4-7 :
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) maka Kami menuntunnya kepada jalan
yang benar.” (QS. Al Lail: 4-7)
Jadi,
Nabi r memerintahkan untuk beramal dan melarang pasrah kepada
takdir.
4.
Allah I memerintah, serta melarang hamba-hamba-Nya, namun tidak
menuntut mereka melakukan sesuatu di
atas kemampuan mereka.
Allah I berfirman:
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (QS. At Taghabun: 16).
Allah
berfirman:
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. AlBaqarah: 286).
Kalau benar
anggapan bahwa manusia tidak memiliki qudrat (kemampuan), iradat (kehendak), ia
terpaksa untuk berbuat sesuatu, artinya ia disuruh mengerjakan sesuatu di luar
kesanggupannya, ini tentu bertentangan dengan ayat di atas. Oleh karena itu,
bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa,
maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.
5. Takdir Allah adalah rahasia yang
tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadi, kehendak seseorang untuk
mengerjakan sesuatu lebih dahulu daripada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang
untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya terhadap
takdir Allah. Dengan ini gagal alasan melakukan dosa dengan takdir karena tidak
ada alasan bagi seseorang terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
6.
Kita melihat orang yang ingin mendapatkan keduniaan secara layak, dia akan
menempuh jalan yang dapat mewujudkan keinginannya, dan tidak mau menempuh jalan
lain, kenapa dia tidak menempuh jalan lain, lalu berdalih dengan takdir? Tetapi
mengapa dalam urusan agama, ia memilih jalan yang salah dan berdalih dengan
takdir? Padahal dua perkara tersebut sama halnya.
Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut:
Kalau di
depan seseorang ada dua jalan. Pertama menuju ke sebuah negeri yang kacau,
pembunuhan, perampokan, pelanggaran kehormatan, ketakutan, dan kelaparan
terjadi. Yang kedua menuju ke sebuah negeri yang teratur, keamanan yang
terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda
dihargai. Jalan mana yang akan ia tempuh?
Ia pasti
akan menempuh jalan yang kedua yaitu; menuju ke sebuah negeri yang teratur
serta aman. Tidak mungkin orang yang berakal menempuh jalan yang menuju ke
sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa dalam
hal akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju
surga, lalu berdalih takdir?
Contoh lain
adalah; seorang yang sakit disuruh meminum obat, lalu ia meminumnya sedangkan
dia tidak menyukai obat tersebut. Dan dilarang memakan makanan tertentu, lalu
ia meninggalkannya, sementara dia sangat menyukainya. Semua itu dikarenakan dia
sedang menjalani pengobatan untuk sembuh. Orang ini tidak mungkin enggan minum
obat atau melanggar pantangan dengan memakan makanan yang dilarang dengan
alasan pasrah kepada takdir. Maka Bagaimana seseorang meninggalkan perintah Allah I dan Rasul-Nya r, atau melakukan larangan Allah dan
Rasul-Nya dengan alasan takdir?
7. Orang yang meninggalkan kewajiban serta
berbuat kemaksiatan dengan alasan takdir, seandainya dianiaya oleh seseorang,
dirampas hartanya dan dilanggar kehormatannya, lalu orang yang menganiayanya
seraya berkata,"Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini
adalah takdir Allah," alasan tersebut tentu tidak akan dia terima. Maka
bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir di saat
dia dianiaya oleh orang lain, sedangkan ia sendiri beralasan dengan takdir
terhadap kelalimannya pada hak Allah I?
Diriwayatkan
bahwa Amirul Mukminin Umar bin khattab t menerima laporan tentang seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya.
Beliau memerintahkan agar hukuman dilaksanakan. Maka si pencuri
berkata,"tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku mencuri karena takdir Allah.
Umar pun menjawab,"demikian juga kami memotong tanganmu juga karena takdir
Allah I.
Buah iman
kepada takdir:
1. Tawakkal kepada Allah I disaat mengerjakan sebab, tidak
bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan
takdir Allah I.
2. Agar seseorang tidak mengagumi dirinya
ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan
ni’mat dari Allah I yang telah ditakdirkan-Nya dengan memudahkan sebab-sebab
keberhasilan. Sedangkan sifat mengagumi diri akan dapat melupakan syukur kepada
ni’mat Allah.
3. Menimbulkan ketenangan serta kepuasan
jiwa terhadap seluruh takdir yang terjadi, tidak gelisah karena hilangnya
sesuatu yang disukai atau sesuatu yang tidak disukai menimpanya. Karena dia
tahu bahwa hal itu terjadi dengan takdir Allah, Pemilik langit dan bumi dan
bahwa hal itu pasti akan terjadi.
Allah berfirman:
“Tidak
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah ditulis dalam kitab (lauh mahfudh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan
supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (QS. Al Hadid : 22-23).
Nabi
Muhammad r bersabda:
(( عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلاَ يَكُوْنُ ذَلِكَ
لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ))
“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin. Semua perkaranya
baik, dan itu tidak terdapat pada seorangpun selain orang mukmin. Jika
mendapatkan kegembiraan, ia bersyukur, itu lebih baik baginya. Dan jika ditimpa
kesusahan ia bersabar, itupun lebih baik baginya.” (HR. Muslim).
Dalam
masalah takdir ada dua golongan yang tersesat:
Pertama: golongan Jabariyyah. Yaitu
mereka yang mengatakan bahwa manusia melakukan segala sesuatu secara terpaksa,
tidak punya iradah (kehendak) dan qudrah (kemampuan).
Kedua: golongan Qadariyah. Yaitu
mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan
serta kemampuannya sendiri, kehendak serta takdir Allah I tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Untuk menjawab
pendapat golongan pertama (jabariyyah), dapat digunakan dalil syara’ dan
kenyataan:
a. Adapun dalil syara’: Allah I telah menyatakan bahwa manusia
mempunyai kehendak serta menyandarkan perbuatan kepadanya. Allah berfirman:
“…Diantara
kamu ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat…” (QS. Al Imran: 152).
Allah
berfirman:
“Dan
katakanlah , kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang
(ingin) beriman hendaklah beriman. Danbarangsiapa yang ingin (kafir) biarlah
kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zdalim itu neraka yang
mengepung mereka..” (QS. Al Kahfi: 29).
Allah berfirman:
“Barangsiapa
mengerjakan amal yang baik, (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa
yang berbuat jahat maka (dosanya) untuk dirinya sendiri (pula). Dan sekali-kali
Tuhanmu tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat: 46).
b.
Secara kenyataan: bahwa manusia
mengetahui perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang ikhtiari (dapat
diupayakan) yang dikerjakan dengan kehendaknya, seperti makan, minum, dan jual
beli, dengan perbuatan yang di luar kehendaknya seperti gemetar disaat demam,
dan jatuh dari tempat tinggi. Pada perbuatan yang pertama ia dapat mengerjakan dan memilih dengan
kemauannya tanpa ada paksaan. sedangkan perbuatan yang kedua, dia tidak dapat
memilih, juga tidak menginginkan terjadinya.
Pendapat
golongan kedua (Qadariyah) dapat dijawab pula dengan dalil syara’ dan dalil
akal:
a. Dalil syara’: Allah I adalah Pencipta segala sesuatu, dan
segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya. Allah telah menjelaskan dalam Al
Qur’an bahwa perbuatan makhluk-Nya terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana
firman-Nya:
“Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang)
sesudah para Rasul, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan,
akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada
(pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah
mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Baqarah: 253).
Allah berfirman:
“Dan
kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk
(bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari-Ku;
sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia
bersama-sama.” (QS. As Sajdah: 13).
b. Dalil akal: bahwa alam semesta ini adalah milik
Allah dan berada dalam kekuasaan-Nya. Dan manusia adalah bagian dari alam
semesta, ia tidak mungkin dapat berbuat dalam kekuasaan Si Penguasa kecuali
dengan seizin dan kehendak-Nya.
TUJUAN AKIDAH ISLAM
Akidah
Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang teguh, yaitu :
1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah
kepada Allah I semata. Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu
bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepada-Nya.
2. Membebaskan akal dan pikiran dari
kekeliruan yang timbul karena jiwa yang kosong dari akidah. Dan orang yang
jiwanya kosong dari akidah, terkadang ia menyembah (menjadi budak) materi yang
nyata saja, dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan
khurafat.
3. Ketenangan jiwa dan pikiran, terhindar
dari kecemasan dalam jiwa dan kegoncangan pikiran. Karena akidah akan
menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya, lalu meridhai Dia sebagai Tuhan
yang mengatur, Hakim yang membuat syari`at. Oleh karena itu jiwanya menerima
takdir, dadanya lapang, menyerah lalu tidak mencari Tuhan pengganti.
4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari
penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan dalam bermuamalah dengan orang
lain. Karena diantara dasar akidah adalah mengimani para Rasul, dengan
mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu
dan tidak melewatkan kesempatan beramal kebajikan, selalu digunakannya dengan
baik untuk mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali
menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah adalah
mengimani hari berbangkit serta hari pembalasan terhadap seluruh perbuatan.
“Dan masing-masing
orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan
Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 132).
Nabi Muhammad r juga menghimbau untuk tujuan ini dalam
sabdanya:
(( المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلىَ اللهِ مِنَ
الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلىَ مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ
وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ،
كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ:
قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ))
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh
Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat
kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah
pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka
jaganlah engkau katakan , seandainya aku kerjakan begini dan begitu (tentu
tidak akan jadi begini). Akan tetapi katakanlah , itu takdir Allah dan apa yang
Dia kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya ucapan "andai begini, andai
begitu" membuka kesempatan setan
untuk menyesatkan.” ( HR. Muslim).
6.
Menciptakan umat yang kuat yang mengerahkan segala daya
dan upaya untuk menegakkan agama Allah serta memperkuat tiang penyanggahnya
tanpa peduli apa yang akan terjadi ketika menempuh jalan itu.
Allah
berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang –orang yang benar.” (QS. Al Hujurat:
15),
7- Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan
memperbaiki pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan
kemuliaan.
Allah
berfirman:
“Barangsiapa yang
mengerjakan amal baik, lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan balasannya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang paling baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Inilah
sebagian dari tujuan akidah Islam, Kami berharap agar Allah mewujudkannya pada
diri kami dan diri seluruh umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar