PRINSIP AKIDAH
ISLAM
Aqidah Islam dasarnya
adalah iman kepada Allah, iman kepada para Malaikat, iman kepada
kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman
kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah dijelaskankan oleh
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya r.
Allah
berfirman dalam kitab sucinya:
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi
sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, para
Malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi…” ( QS.
Al-Baqarah : 177).
Dalam
masalah takdir, Allah berfirman:
“Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ukuran), dan perintah Kami
hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qomar: 49-50).
Nabi r bersabda disaat menjawab pertanyaan
Malaikat jibril tentang iman :
((
الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ))
“Iman adalah: engkau beriman kepada Allah, para Malaikat,
kitab-kitab, para Rasul-Nya, hari kemudian, dan beriman kepada takdir yang baik
dan yang buruk.”(HR. Muslim
).
IMAN KEPADA ALLAH
Iman
kepada Allah mencakup empat hal:
1. Beriman kepada keberadaan Allah I.
Wujud Allah
telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
a. Bukti
fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan
fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Dan
kenyataan ini diakui oleh setiap orang yang memiliki fitrah yang benar yang di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu
yang memalingkannya dari fitrah ini.
Rasulullah r bersabda:
(( مَا مِنْ
مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ))
“Semua bayi dilahirkan dalam keadaan
fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR.
Al-Bukhari).
b. Bukti akal tentang wujud Allah adalah
proses penciptaan semua makhluk, bahwa semua makhluk pasti ada yang
menciptakan. Karena tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan
tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan.
Tidak
mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, karena makhluk sebelum diciptakan
tentulah ia tidak ada, dan sesuatu yang tidak ada, mustahil mampu menciptakan
sesuatu.
Semua
makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan
pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan- aturan yang harmonis,
tersusun rapi, dan adanya hubungan yang erat antara sebab dan musabab, antara
alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan
seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan,
pada awalnya pasti tidak teratur, maka bagaimana mungkin kemudian dia menjadi
teratur dan tetap bertahan teratur tanpa ada faktor lain.
Kalau
makhluk tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara
kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah
Rabb semesta alam.
Allah I menyebutkan dalil aqli (akal) yang
qath’i dalam surat
Ath- thur:
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” ( QS.
Ath-thur: 35).
Dari ayat di
atas jelaslah bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak
menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah
Allah I.
Ketika
Jubair bin Muth’im mendengar Rasulullah r yang tengah membaca surat Ath-thur dan sampai kepada ayat-ayat
ini:
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka menciptakan (diri mereka
sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada
perbendaharaan Rabbmu atau merekalah yang berkuasa?”( QS. At-Thur: 35-37).
Ia, yang
tatkala itu masih musyrik berkata, “jiwaku hampir saja melayang. Itulah
permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Bukhari).
Dalam hal
ini Kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang bercerita kepada
anda tentang istana yang megah, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri
sungai-sungai, dialasi oleh hamparan permadani, dan dihiasi dengan berbagai
jenis hiasan utama dan pelengkap, lalu orang itu mengatakan kepada anda bahwa
istana dengan segala kesempurnaanya ini ada dengan sendirinya, atau tercipta secara
kebetulan tanpa pencipta, pasti anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap
perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Jika demikian halnya, apakah
mungkin alam semesta yang luas ini beserta isinya; bumi, langit dan
galaxy-galaxy dengan sistem yang sangat rapi dan elok tercipta dengan
sendirinya atau tercipta secara kebetulan?
1.
Dalil
syara’ tentang wujud Allah I bahwa seluruh kitab samawi
(yang diturunkan dari langit) berbicara tentang hal ini. Seluruh hukum syara`
yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan
dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang maha Bijaksana dan
Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita alam semesta yang
dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang dijelaskan di dalam
kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang
dari Rabb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan-Nya.
2. Dalil logika tentang wujud Allah I dapat dibagi menjadi dua:
a. kita mendengar dan menyaksikan terkabulnya
do’a orang-orang yang berdo’a serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada
orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang
wujud Allah I.
Allah
berfirman:
“Dan (ingatlah
kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdo’a, dan Kami memperkenankan do’anya,
lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” ( QS. Al-Anbiya: 76).
“Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankannya bagimu …”(QS. Al-Anfal: 9).
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik t bahwa ia berkata, “Pernah ada
seorang badui datang pada hari jum’at. Pada waktu itu Nabi r sedang berkhutbah. Lelaki itu berkata
, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah binasa, seluruh warga ditimpa kelaparan.
Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah I untuk mengatasi kesulitan kami.
“Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdo’a. tiba-tiba awan datang
bergulung-gulung bagaikan gunung-gunung. Sebelum Rasulullah turun dari mimbar,
hujan terlebih dahulu turun dan membasahi jenggot beliau. Pada hari jum’at yang
kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata , ‘Hai Rasulullah,
bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, berdoalah kepada Allah (agar
kami selamat).’ Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdo’Allah,
“Ya Rabbi, turunkanlah hujan di sekeliling negeri kami, dan jangan Engkau
turunkan di negeri kami.” Akhirnya setiap tempat yang beliau tunjuk dengan
tangannya menjadi terang (tanpa hujan).”
(HR. Bukhari).
Hingga di
masa kita sekarang ini, kita menyaksikan dan mendengar terkabulnya do`a orang
–orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta`ala.
b. Tanda-tanda kebenaran para Nabi yang
disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan
bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi tesebut, yaitu Allah I, karena hal-hal itu terjadi di luar
kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai bukti penguat kebenaran, dan
menolong para Rasul.
Ketika Allah
memerintahkan Nabi Musa `alaihissalam untuk memukul tongkatnya ke laut, Musa
memukulnya, lalu laut terbelah menjadi dua belas jalur yang kering, sementara
air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung.
Allah berfirman:
“Lalu
Kami mewahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”
( QS. Asy-Syuara’:
63).
Contoh
kedua: mukjizat Nabi Isa u yang menghidupkan orang-orang yang
sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah.
Allah I berfirman:
“…dan aku dapat menghidupkan orang mati
dengan seizin Allah…” (QS.
Al-Imran: 49).
“…dan (ingatlah) ketika kamu
mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan izin-Ku..” ( QS. Al-Maidah: 110).
Contoh
ketiga: mukjizat Nabi Muhammad r ketika kaum Quraisy meminta bukti
kenabiannya. Beliau mengacungkan tangannya menunjuk ke arah bulan, disaat itu
juga bulan terbelah menjadi dua, dan kejadian ini disaksikan oleh orang banyak.
Allah I berfirman tentang hal ini:
“Telah
dekat (datangnya) saat (kiamat) dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka
(orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan
berkata , “(ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (QS. Al-Qomar: 1-2).
Mukjizat-mukjizat
di atas yang diciptakan Allah untuk membuktikan kebenaran seorang nabi, yang
dapat dirasakan oleh indera manusia menjadi bukti keniscayaan wujud dan
keberadaan Allah.
2.
Beriman
kepada Rububiyah Allah I.
Beriman
kepada Rububiyah Allah maksudnya: beriman sepenuhnya bahwa Dialah
satu-satunya Pengatur alam semesta, tiada sekutu dan tiada penolong selain Dia.
Rabb
adalah Zat yang menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada
pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah
selain perintah-Nya.
Allah I berfirman:
“…Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS.
Al-A’raf: 54).
Allah berfirman:
"…Yang
(berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan
orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari.” (QS.
Fathir: 13).
Tidak
ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah I, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini
kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir`aun ketika berkata kepada
kaumnya:
“Akulah
tuhanmu yang paling tinggi.” ( QS.
An-Naziat: 24)
Dan
juga ketika berkata:
“Hai
pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS. Al-Qashash: 38)
Allah I berfirman:
“Dan
mereka mengingkarinya karena kezdaliman dan kesombongan mereka padahal hati
mereka meyakini (kebenaran)nya.” (QS.
An-Naml: 14).
Allah berfirman:
Nabi Musa berkata kepada Fir`aun, “Sesungguhnya kamu telah
mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang
memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku
mengira kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’: 102).
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah
Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).
Allah I
berfirman:
“Katakanlah,"Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang
ada padanya, jika kamu mengetahui? “Mereka akan menjawab,“kepunyan Allah”.
Katakanlah,“siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya Arsy yang
besar?” mereka menjawab, “kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak
bertakwa? “Katakanlah, “Siapakah yang di tanganNya berada kekusaan atas segala
sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
(azab)Nya, jika kamu mengetahui?” mereka akan menjawab,“kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu
ditipu?” (QS. Al-Mu’minun: 84-89).
“Dan sungguh jika kamu
bertanya kepada mereka,“Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya
mereka menjawab,“Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.” (
QS. Az-Zukhruf : 9).
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka,“siapakah yang
menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab,“Allah”, maka bagaimanakah mereka
dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf : 87).
Perintah
Allah I mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’
(syar’i). Dia adalah pengatur alam, pemutus seluruh perkara, sesuai dengan
tuntutan hikmah-Nya. Dia juga penentu peraturan-peraturan ibadah serta
hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa
yang menjadikan penentu aturan-aturan ibadah selain Allah dan penentu
aturan-aturan mu`amalat selain Allah berarti ia telah menyekutukan Allah serta
tidak beriman kepada-Nya.
3. Beriman kepada Uluhiyah Allah I.
Beriman
kepada Uluhiyah Allah maksudnya: benar-benar mengimani bahwa Dialah Ilah
yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Al Ilah
artinya “al ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan
serta pengagungan.
Allah I berfirman:
“Dan
Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi)
melainkan Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al Baqarah: 163).
Allah berfirman:
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia yang menegakkan keadilan, para Malaikat dan orang-orang yang berilmu
(juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia
yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” ( QS. Al-Imran :18).
Setiap
sesuatu yang disembah selain Allah, Uluhiyahnya adalah batil.
Allah I berfirman:
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah yang Maha tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al-Hajj: 62).
Allah
I berfirman tentang laata, uzza, dan manat yang disebut
sebagai tuhan, namun tidak berhak untuk dikatakan sebagai Ilah:
Allah I berfirman:
“Itu
tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya;
Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya…” (QS. An Najm : 23).
Allah I juga berfirman tentang Nabi Yusuf
`Alaihissalam yang berkata kepada dua temannya di penjara:
“Hai
kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam
itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain
Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama
itu…” (QS. Yusuf : 39- 40).
Oleh karena
itu para Rasul ‘Alaihimussalam berkata kepada kaum-kaumnya:
“Sembahlah
Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al-Mu’minun: 32).
Orang-orang
musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil Tuhan selain
Allah I. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada
tuhan-tuhan itu dan menyekutukan Allah.
Pengambilan
tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibantah oleh Allah
dengan dua dalil:
A. Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai
sifat-sifat uluhiyah sedikitpun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat
menciptakan, tidak dapat mendatangkan manfaat, tidak dapat menolak bahaya,
tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sebagian kecilpun dari langit dan
tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.
Allah I berfirman:
“Mereka
mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan
itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa
untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk
mengambil) sesuatu manfaatpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan
dan tidak (pula) membangkitkan.” ( QS.
Al-Furqan: 3).
Allah
berfirman:
“Katakanlah
, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak
mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali
tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya, dan tiadalah berguna
syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh
syafaat…” (QS. Saba’:
22-23).
Allah berfirman:
“Apakah
mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat
menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada
penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak
dapat memberi pertolongan.” ( QS. Al-A’raf : 191-192).
Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh
sangat bodoh dan sangat keliru bila menjadikan mereka sebagai tuhan (Ilah).
B. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa
Allah I adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya
kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat
melindungi dan tidak ada yang dapat memberi perlindungan selain-Nya. Ini
mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan
Rububiyah (ketuhanan) Allah.
Allah I berfirman:
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezki untukmu; karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:
21-22).
Allah berfirman:
“Dan
sungguh jika kamu bertanya kepada mereka , “Siapakah yang menciptakan mereka? “
niscaya mereka menjawab , “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan
(dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf :
87).
Allah berfirman:
“Katakanlah,“siapakah
yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan
siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka
katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?” maka (Dzat yang
demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran
itu, malainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Yunus: 31-32).
4. Beriman kepada Asma’ dan sifat Allah I.
Iman kepada
Asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Allah I , yakni : menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya
atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif
(penyelewengan makana), ta’thil (menafikan makna), takyif
(menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
Allah I berfirman:
“Allah
mempunyai Asmaaul husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.” ( QS. Al-A’raf :
180).
Allah
berfirman:
“Allah mempunyai sifat
yang Maha tinggi; Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nahl: 60).
Allah
berfirman:
“…
tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha mendengar
lagi Maha Melihat.” ( QS. Asy-syura: 11).
Dalam
masalah Asma’ dan sifat ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
1. Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari seluruh
nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya. Menurut dugaan
mereka, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dapat menyebabkan tasybih
(penyerupaan), yakni menyerupakan Allah I dengan makhluk-Nya.
Pendapat ini
jelas keliru karena:
a. Dugaan di atas akan mengakibatkan
hal-hal yang batil atau salah, karena Allah I telah menetapkan untuk diri-Nya
nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa
dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan
adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah, yakni sebagian
firman-Nya betolak belakang dengan
sebagian yang lain.
b. Adanya persamaan nama atau sifat dari
dua zat berbeda tidak mengharuskan persamaan keduanya dari segala sisi. Anda
melihat ada dua orang yang keduanya manusia, sama-sama mendengar, melihat dan
berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya,
pendengaran, penglihatan, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa
binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi persamaan itu tidak
mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama persis. Apabila antara
makhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja memiliki perbedaan,
maka tentu perbedaan antara khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan)
akan lebih jelas lagi.
2.
Golongan
Musyabbihah, yaitu
golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah I dengan makhluk. Mereka mengira hal ini
sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan
hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat difahaminya. Anggapan ini jelas
keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a.
Menyerupakan Allah I dengan makhluk-Nya jelas merupakan
sesuatu yang batil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash
kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasul menunjukkan pengertian yang batil.
b.
Allah I berbicara
dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami maknanya. Adapun
hakikat makna yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah hanya diketahui oleh
Allah saja.
Apabila Allah menetapkan
untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah
maklum dari segi maknanya, yaitu menangkap suara-suara. Tetapi hakikat hal itu,
bila dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak diketahui, karena hakikat
pendengaran sangat berbeda, walau pada makluk-makhluk sekalipun. Tentulah perbedaan hakikat sifat pencipta dan
yang diciptakan lebih jauh berbeda.
Apabila
Allah I memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di
atas Arasy-Nya, maka kata "bersemayam" dari segi asal maknanya sudah
maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui. Karena
bersemayamnya para makhluk, satu dengan lainnya sangat berbeda, seperti contoh;
bersemayam di atas kursi berbeda dengan bersemayam di atas hewan tunggangan,
bila bersemayamnya seorang makhluk saja berbeda apatah lagi bersemayamnya sang
khalik dengan bersemayamnya para makhluk, tentu lebih jauh berbeda lagi.
Buah iman
kepada Allah:
1. Merealisasikan pengesaan Allah I sehingga tidak menggantungkan harapan
kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada
selain-Nya.
2. kesempurnaan cinta kepada Allah, serta
mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya
yang Maha tinggi.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah
dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar